WahanaNews.co | Penanganan Konflik merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah konflik yang mencakup pencegahan dan penghentian konflik, serta pemulihan pascakonflik.
Ketua Dewan Perwakilan Wilayah Kontrol Publik Kebijakan Independen (DPW KPKI) Maluku Yanter Latumahina, SH.,MH. menilai bahwa aktualisasi sumber konflik Pelauw-Kariur merupakan tanggungjawab pemerintah dalam rangka penyelesaian konflik.
Baca Juga:
PLN Icon Plus Hadirkan ICONNEXT, Pameran Futuristik Terbesar di Indonesia
“Secara teknis praktis dan sistematis di antaranya adalah akibat dari sengketa batas wilayah desa Pelauw-Kariur. Selain itu, secara perspektif futuristik sumber konflik juga diakibatkan situasi jelang tahun politik, unsur penyelesaian ekonomis yang belum tuntas dengan kerugian pascakonflik, dan sosial budaya. Ini tentu saja jadi tanggungjawab pemerintah bersama elemen masyarakat dalam rangka upaya pendamaian Pascakonflik,” paparnya pada WahanaNews.co, Jumat (30/12/2022).
Di sisi lain, disinyalir sumber konflik dimungkinkan berpotensi melebar pada kepentingan perseteruan antarumat beragama, antarsuku, dan antar etnis.
Jika dibiarkan berlarut-larut tanpa arah, Yanter memprediksi hal tersebut akan berdampak luas pada pelanggaran HAM berat yang meliputi:
Baca Juga:
PLN Icon Plus Hadirkan ICONNEXT, Pameran Futuristik Terbesar di Indonesia
Tindakan pembunuhan
Pemusnahan Suku/Ras/Agama tertentu (berdasarkan kajian lokasi/wilayah konflik)
Pengusiran dan/atau pemindahan penduduk secara paksa pada area konflik sebagai solusi penyelesaian konflik (apabila kebijakan ini ditempuh oleh Pemerintah maka akan bertentangan dengan Hak Asal Usul Negeri Adat sebagai HAK-HAK Konstitusional)
Kejahatan Apartheid (berdasarkan Konvensi Internasional 1973 tentang Penindasan dan Hukuman Kejahatan Apartheid, didefinisikan sebagai sebagai "tindakan tidak manusiawi yang dilakukan demi membangun dan melanggengkan dominasi oleh satu kelompok rasial terhadap kelompok rasial lainnya, dan secara sistematis bersifat menindas).
Maka, kata Yanter, dalam rangka penyelesaian konflik Pelauw-Kariu, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melakukan pemulihan pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Het Plan penyelesaian konflik, sebagai bentuk tindakan pemerintah dan pemerintah daerah yang berakibat hukum.
“Tahapan Het Plan pemulihan pascakonflik itu meliputi rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Tentu dengan memperhatikan wewenang kelembagaan publik negara, sehingga seyogianya merupakan tindakan kesinambungan program dan bentuk komitmen pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka penyelesaian konflik pelauw-kariu yang berkepanjangan, sehingga tindakan pemerintah bersifat konsisten,” katanya.
Bahwa pentahapan sistematis Het Plan penyelesaian konflik Pelauw-Kariu oleh pemerintah, tahap rekonsiliasi para pihak, pemerintah haruslah melakukan :
a. Perundingan secara damai;
b. Pemberian restitusi;
c. Pemaafan
Unsur penyelesaian ini dengan melibatkan pranata adat, pranata skosial, dan satuan tugas penyelesaian konflik social (meliputi Polri dan TNI).
Dengan demikian pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan rekonsiliasi penyelesaian konflik tidak terhenti hanya pada kesepakatan damai semata, namun seharusnya menetapkan skala prioritas langkah penyelesaian lebih lanjut, dalam tindakan konkrit pemerintah daerah sebagai komitmen dan tanggungjawab pemerintah dalam melindungi masyarakat dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat.
“Pada tahap rekonsiliasi seharusnya pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Maluku Tengah dan Gubernur Provinsi Maluku dapat mengambilkan tindakan konkret penyelesaian berdasarkan skala prioritas, ratsio Freies Ermessen dan sasaran pemerintah dalam penyelesaian berdasarkan asas Umum Pemerintah yang baik,” katanya.
Sehingga, sambungnya, bukan malah pemerintah daerah melalui kewenangan absolut Bupati dan Gubernur dalam rangka rekonsiliasi dilaksanakan/diambil alih oleh Deputi 1 Kepresiden dalam pelaksanaannya.
“Hal ini tentu menimbulkan kerancuan baik secara legalitas, aspek wewenang maupun unsur pentapahan/eskalasi penyelesaian konflik (vide instrument juridis Pasal 58 Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2015). Karena sasaran akhir dan tujuan Tindakan hukum pemerintah dan pemerintah daerah adalah perlindungan hukum, penegakan HAM dan kepastian hukum.”
Konkretisasinya adalah urgensi langkah kebijakan dan kewajiban rekonstruksi oleh Pemerintah Daerah melalui Bupati dan Gubernur dan secara komprehensif meliputi tanggungjawab pemerintah meliputi keterlibatan pemerintah pusat melalui kementerian negara terkait, di antaranya koordinasi pemerintah daerah dengan Mendagri dan Menteri sosial dan Menteri keuangan, berkaitan dengan kewajiban pemerintah dalam pendanaan penangan dan penyelesaian daerah konflik sebagai bentuk Tindakan rekonstruksi pemerintah secara substansial.
Hal ini karena instrumen sumber pendanaan penanganan konflik sebagai Langkah lebih lanjut dari kebijakan rekonsiliasi Pemerintah berasal dari APBN, APBD, dan/atau masyarakat.
Pendanaan dimaksud berdasarkan skala prioritas dan rumusan usulan pemerintah daerah (vide Pasal 78 ayat (2) Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2015).
Sehingga, hemat Yanter Latumahina, keterlibatan deputi 1 Staf Kepresiden tidaklah tepat dan juga tidak sesuai dengan rumusan wewenang kelembagaan negara kaitan dengan mekanisme sarana eskalasi penyelesaian konflik social di NKRI.
“Namun langkah pemerintah dari segi keamanan yang dilaksanakan oleh Polri dan TNI telah tepat,” sebutnya.
Pada sisi lain, rekonstruksi pemulihan daerah konflik adalah tangunggjawab pemerintah dan pemerintah daerah (konstektual pemerintah kabupaten/kota dan provinsi) bersama DPRD yang merupakan instrumen perwakilan rakyat sebagai tindakan kesinambungan merupakan PR yang harus dijawab oleh pemerintah daerah bersama DPRD sebagai bentuk konsistensi konkrit pemerintah dan DPRD.
“Tentu dalam kinerja yang harus dinilai dan dievaluasi oleh publik, dalam hal ini oleh masyarakat Maluku dalam mengawasi tindakan dan kebijakan publik pemerintah Provinsi sebagai esensi pemerintah daerah,” pungkasnya. [eta]