MALUKU.WAHANANEWS.CO – Seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK atau P3K) tahun 2025 di Maluku Barat Daya semestinya menjadi pintu harapan bagi banyak tenaga honorer yang puluhan tahun sudah mengabdi tanpa kepastian. Namun, harapan itu kini justru berujung menjadi luka.
Banyak cerita beredar di tengah masyarakat, ada yang cacat administrasi tetapi tetap lolos, dan ada yang punya rekam jejak tidak sesuai aturan namun tiba-tiba masuk daftar. Sementara, mereka yang sudah mengabdi puluhan tahun justru tersingkir. Cerita ini tidak sekadar keluhan, melainkan bukti nyata bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam mekanisme seleksi PPPK di MBD ini.
Baca Juga:
Kisruh Seleksi P3K Maluku Barat Daya, Sekretaris Pansus DPRD Henrita Jermias: Kami Kerja tanpa Dendam Politik
Jika benar ada pemalsuan dokumen, maladministrasi, dan penyalahgunaan kewenangan, maka persoalan ini bukan sekadar human error ‘kesalahan manusia’, melainkan dapat duga ada tindak pidana yang harus diusut. Di daerah tertinggal; terluar; terdepan (3T) seperti Maluku Barat Daya (MBD), sudah terlalu sering diperlakukan sebagai tanah kosong yang dimainkan sesuka hati oleh para oknum.
Lebih parahnya, masyarakat yang ingin bersuara-protes untuk menegakkan kebenaran, justru didera intimidasi. Banyak yang akhirnya hanya berani mengirimkan bukti dan informasi lewat jalur pribadi, karena takut dengan ancaman. Ini situasi yang sangat berbahaya. Demokrasi lokal kita seakan dipasung oleh ketakutan, sementara hukum seperti tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Karena itu, ada tiga hal mendesak yang perlu dilakukan, pertama, transparansi penuh seluruh dokumen dan proses seleksi harus dibuka agar publik bisa menilai.
Baca Juga:
Salahgunakan Dana Desa: Kejari Maluku Barat Daya Didesak AMPDJ Periksa Kades Jerusu
Kedua, pengawasan independen dari masyarakat; Ombudsman; DPRD, aparat penegak hukum, hingga pers wajib turun tangan, bukan hanya diam.
Ketiga, penegakan hukum tegas, bila terbukti ada ‘permainan’, maka proses pidana wajib laksanakan tanpa pandang bulu.
Seleksi PPPK bukan sekadar angka di atas kertas. ini menyangkut masa hadapan anak-anak daerah, menyangkut keadilan sosial, dan menyangkut martabat kita sebagai bangsa. Bila praktik kotor ini dibiarkan, maka kita sedang mengajarkan generasi muda bahwa kecurangan lebih dihargai daripada pengabdian.
Maluku Barat Daya tidak boleh menjadi ladang eksperimen bagi oknum yang haus kuasa. Supremasi hukum harus ditegakkan sekarang juga, atau kita akan menyaksikan hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Seleksi PPPK dan Dugaan Kecurangan: Ancaman bagi Supremasi Hukum dan Keadilan di Daerah 3T
Proses seleksi PPPK, sejatinya dirancang untuk memberikan kesempatan yang adil bagi para tenaga honorer dan masyarakat. Prinsip merit system ‘sistem kemampuan’ yang transparansi dan akuntabel menjadi ruh utama dari rekrutmen aparatur negara. Namun, di Kabupaten Maluku Barat Daya, proses ini justru memalukan, mencuatkan persoalan serius yang mengancam nilai-nilai keadilan dan supremasi hukum.
Berdasarkan laporan masyarakat yang diterima, terdapat dugaan kuat bahwa sejumlah peserta seleksi PPPK diluluskan meskipun dokumen administrasinya cacat atau bahkan diduga dipalsukan. Lebih jauh, ada indikasi bahwa oknum pejabat pada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) diduga ikut terlibat dalam praktik penyalahgunaan wewenang untuk meluluskan pihak-pihak tertentu dengan–dapat duga–praktik kotor. Dugaan ini, bukan hanya dapat merusak proses seleksi, namun juga melukai kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Lebih memprihatinkan, masyarakat yang mengetahui fakta-fakta tersebut justru mengalami intimidasi dan ancaman, sehingga mereka takut bersuara. Akibatnya, bukti-bukti dan informasi hanya bisa disampaikan secara tidak langsung melalui jalur pribadi, bukan secara terbuka di ruang publik. Fenomena ini jelas menggambarkan betapa rapuhnya posisi rakyat kecil di hadapan kuasa birokrasi di daerah 3T.
Dari perspektif hukum, praktik semacam ini tidak boleh dibiarkan. Dugaan pemalsuan dokumen jelas melanggar Pasal 263 Undang Undang Hukum Pidana (UUHP). Sedangkan, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dapat dijerat dengan Pasal 421 UUHP maupun ketentuan dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Kemudian, di sisi lain, perbuatan ini juga merupakan bentuk nyata dari maladministrasi, sebagaimana diatur dalam Undang Undang Ombudsman.
Namun, persoalan ini bukan semata-mata soal hukum positif. Lebih dari itu, persoalan ini adalah cermin ketidakadilan struktural. Masyarakat di daerah 3T seringkali menjadi korban praktik oligarki kecil di tingkat daerah, di mana proses rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) hanya dijadikan alat untuk melanggengkan kepentingan kelompok tertentu.
Supremasi hukum menuntut supaya kasus seperti ini tidak berhenti di meja administrasi, melainkan diproses secara pidana. Aparatur penegak hukum dari pelbagai instansi harus turun tangan melakukan penyelidikan, memanggil para pihak berkait, menyita dokumen, serta memberikan perlindungan kepada saksi dan pelapor. Tanpa langkah tegas, keadilan hanya akan menjadi jargon kosong, sementara ketidakadilan terus merajalela.
Momentum seleksi PPPK seharusnya menjadi jalan untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik, bukan justru merusaknya. Negara hadir bukan untuk membiarkan praktik kotor mengakar, melainkan untuk memastikan bahwa setiap anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi secara sehat dan adil.
Oleh karena itu, saya menyerukan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri); Ombudsman; Badan Kepegawaian Nasional (BKN); Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB) perlu segera melakukan investigasi menyeluruh atas dugaan kecurangan seleksi PPPK di Maluku Barat Daya. Tindakan tegas diperlukan supaya kasus seperti ini menjadi pelajaran bersama bahwa hukum berlaku sama bagi semua, tanpa pandang bulu, termasuk bagi pejabat sekalipun.
Keadilan tidak boleh dikalahkan oleh intimidasi. Supremasi hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan kelompok. Dan proses seleksi ASN-PPPK harus tetap menjadi ruang meritokrasi, bukan arena rekayasa kepentingan.
(*) Nikolas Okmemera, S.H.,Cpc.CNs.ChteacH.CPs adalah berprofasi sebagai advokat, pemerhati sosial dan hukum.
[Editor: Edy Yanter Latumahina]