Sebaliknya, pihak dia justru menyebar bibit tanaman di lahan-lahan tidur yang selama ini tidak dimanfaatkan, memanfaatkan limbah dan memberikan multiplier effect bagi perekonomian masyarakat pedesaan.
"Kontrak-kontrak pengadaan biomassa juga dilakukan dengan CV, koperasi dan kelompok masyarakat. Inilah bedanya biomassa dengan batu bara. Kalau batu bara, kita bicara korporasi, tetapi biomassa kita bicara tentang ekonomi sirkular dan kerakyatan," kata Mamit.
Baca Juga:
Terus Kembangkan Bahan Co-Firing Biomassa, PLN Bersama Kementan Luncurkan Model Pertanian Terpadu
Mamit optimistis, PLN EPI mampu memenuhi target kebutuhan 10 juta ton biomassa untuk cofiring PLTU pada 2025 mengingat potensi biomassa di Tanah Air cukup berlimpah.
"Pemetaan biomassa di Indonesia saat ini mencapai 500 juta ton. Dengan target 10 juta ton pada 2025, insya Allah kami bisa penuhi dengan memanfaatkan limbah-limbah dan hutan tanaman energi," ujarnya.
Untuk itu, PLN EPI aktif menyelenggarakan berbagai pelatihan antara lain pembibitan, tanaman organik dan silase. Sejauh ini kegiatan tersebut sudah dilakukan di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam waktu dekat, akan diduplikasi di daerah lain yaitu Kupang, Cilacap dan Tasikmalaya.
Baca Juga:
Terus Kembangkan Bahan Co-Firing Biomassa, PLN Bersama Kementan Luncurkan Model Pertanian Terpadu
Pada tahun 2023, pasokan biomassa PLN EPI berasal dari residu/sampah pertanian, perkebunan dan perhutanan seperti serbuk gergaji, sekam padi, bonggol jagung, bagasse tebu, pelet tandan kosong sawit, cangkang sawit, cangkang kemiri serta woodchip dari ranting-ranting dan tanaman replanting karet, bahkan BBJP hasil olahan sampah kota.
PLN EPI juga membuka peluang bagi penduduk untuk menjual ranting-ranting tanaman yang akan diolah menjadi energi terbarukan biomassa sebagai substitusi batu bara PLTU.
Dengan indeks harga biomassa sebesar 1,2 dari harga batu bara hanya akan menaikkan BPP (biaya pokok produksi) sebesar 0,5 sen dolar AS, jauh lebih murah dibanding energi terbarukan lainnya.