Rapala menjadi simpul yang tidak terbantahkan untuk menjaga wilayah laut dan kedaulatan maritim di Indonesia timur, terutama di wilayah Maluku. Butuh keterlibatan banyak orang untuk menjaga Maluku yang merupakan daerah kepulauan dan sebagian besar wilayahnya adalah lautan.
Data Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku menyatakan luas laut Maluku mencapai 658.294 kilometer persegi (KM2) atau setara 92,4 persen dari total luas wilayahnya yang mencapai 712.479 KM2. Bukan hal yang mudah untuk menjaga keamanan di Maluku, belum lagi jumlah pulaunya yang mencapai 1.024 dan 331 di antaranya pulau tak berpenghuni.
Baca Juga:
4.000 Prajurit TNI Kena Sanksi Akibat Terlibat Judi Online
Karena itu Maluku bisa dikatakan "rentan" untuk dijaga karena karakteristik geografisnya. Jumlah dan kemampuan TNI, Polri dan unsur maritim lainnya saat ini masih belum sebanding dengan luas wilayah kerjanya.
Aktivitas kejahatan, seperti pencurian ikan oleh nelayan asing, peredaran narkoba, hingga penyelundupan senjata, menjadi ancaman yang nyata di daerah tersebut.
Di sisi lain, kesadaran warga di tataran akar rumput untuk menjaga NKRI sebenarnya sudah muncul sejak lama, sebelum Badan Keamanan Laut (Bakamla) Zona Maritim Timur mengakomodir mereka dengan membentuk Rapala pada awal 2022.
Baca Juga:
Kepala Zona Bakamla Tengah Laksanakan Courtesy Call ke Mapolda Sulsel
Sebelum Rapala dibentuk, Pieter Tehupuring sudah sering berkomunikasi memberikan informasi ke Bakamla.
Anggota Rapala terdiri dari 30 orang yang sebagian besar adalah nelayan. Pieter yang berusia 55 tahun asal Negeri (Desa) Silale, Ambon, itu sehari-hari berprofesi sebagai nelayan penjaring ikan yang memiliki dua kapal jenis purse seine, disebut warga setempat dengan kapal tonda.
Sedangkan anggota lainnya berasal dari beberapa negeri (desa) di Kecamatan Nusaniwe, seperti Negeri Amahusu, Silale, Latuhalat, Urimessing dan Dusun Seri. Selain nelayan, yang tergabung di Rapala juga ada tokoh agama dan empat orang mahasiswa.