Maluku Barat Daya tidak boleh menjadi ladang eksperimen bagi oknum yang haus kuasa. Supremasi hukum harus ditegakkan sekarang juga, atau kita akan menyaksikan hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Seleksi PPPK dan Dugaan Kecurangan: Ancaman bagi Supremasi Hukum dan Keadilan di Daerah 3T
Baca Juga:
Kisruh Seleksi P3K Maluku Barat Daya, Sekretaris Pansus DPRD Henrita Jermias: Kami Kerja tanpa Dendam Politik
Proses seleksi PPPK, sejatinya dirancang untuk memberikan kesempatan yang adil bagi para tenaga honorer dan masyarakat. Prinsip merit system ‘sistem kemampuan’ yang transparansi dan akuntabel menjadi ruh utama dari rekrutmen aparatur negara. Namun, di Kabupaten Maluku Barat Daya, proses ini justru memalukan, mencuatkan persoalan serius yang mengancam nilai-nilai keadilan dan supremasi hukum.
Berdasarkan laporan masyarakat yang diterima, terdapat dugaan kuat bahwa sejumlah peserta seleksi PPPK diluluskan meskipun dokumen administrasinya cacat atau bahkan diduga dipalsukan. Lebih jauh, ada indikasi bahwa oknum pejabat pada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) diduga ikut terlibat dalam praktik penyalahgunaan wewenang untuk meluluskan pihak-pihak tertentu dengan–dapat duga–praktik kotor. Dugaan ini, bukan hanya dapat merusak proses seleksi, namun juga melukai kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Lebih memprihatinkan, masyarakat yang mengetahui fakta-fakta tersebut justru mengalami intimidasi dan ancaman, sehingga mereka takut bersuara. Akibatnya, bukti-bukti dan informasi hanya bisa disampaikan secara tidak langsung melalui jalur pribadi, bukan secara terbuka di ruang publik. Fenomena ini jelas menggambarkan betapa rapuhnya posisi rakyat kecil di hadapan kuasa birokrasi di daerah 3T.
Baca Juga:
Salahgunakan Dana Desa: Kejari Maluku Barat Daya Didesak AMPDJ Periksa Kades Jerusu
Dari perspektif hukum, praktik semacam ini tidak boleh dibiarkan. Dugaan pemalsuan dokumen jelas melanggar Pasal 263 Undang Undang Hukum Pidana (UUHP). Sedangkan, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dapat dijerat dengan Pasal 421 UUHP maupun ketentuan dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Kemudian, di sisi lain, perbuatan ini juga merupakan bentuk nyata dari maladministrasi, sebagaimana diatur dalam Undang Undang Ombudsman.
Namun, persoalan ini bukan semata-mata soal hukum positif. Lebih dari itu, persoalan ini adalah cermin ketidakadilan struktural. Masyarakat di daerah 3T seringkali menjadi korban praktik oligarki kecil di tingkat daerah, di mana proses rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) hanya dijadikan alat untuk melanggengkan kepentingan kelompok tertentu.
Supremasi hukum menuntut supaya kasus seperti ini tidak berhenti di meja administrasi, melainkan diproses secara pidana. Aparatur penegak hukum dari pelbagai instansi harus turun tangan melakukan penyelidikan, memanggil para pihak berkait, menyita dokumen, serta memberikan perlindungan kepada saksi dan pelapor. Tanpa langkah tegas, keadilan hanya akan menjadi jargon kosong, sementara ketidakadilan terus merajalela.